Aku tidak tahu harus memulai dari mana? Yang
pasti hancurnya hidupku dimulai dari masa-masa SMA. Sekarang aku sudah memiliki
pekerjaan sebagai karyawati di sebuah perusahaan swasta di daerah Bandung. Saat
kecil aku cukup dimanja oleh orang tuaku karena aku anak bungsu, masa kecilku
dihabiskan untuk bermain dan bermain.
Apa yang aku inginkan
selalu dikabulkan ayah. Dari mainan hingga sepatu mahal yang bagus untuk
sekolah apalagi saat ayah tahu nilai raportku selalu mendapat rangking 1.
Tapi....., semuanya hilang saat bunda meninggal saat aku menginjak kelas VII di
SMP favorit. Semua bersedih karena kehilangan bunda, bundaku itu sangat ramah
dan baik pada setiap orang. Maka dari itu, saat pemakamannya banyak sekali
orang yang datang untuk melepaskan kepergian bunda. Ayah pun sudah tidak
bekerja karena 2 bulan lamanya mengurus bunda yang sakit, rasanya beliau
kehilangan bidadari cantik yang selama ini menemaninya.
Kakakku berusaha
semaksimal mungkin membantu ayah untuk mengurus rumah tangga. Selama ayah tidak
bekerja, dialah yang memberi makan dan tentunya memenuhi kebutuhan kami
sekeluarga. Sampai menikah pun dia tetap mengurus kami, adik-adiknya. Kakakku
yang kedua agak tidak peduli dengan yang terjadi di sekitarnya. Dia terlalu
sibuk dengan urusannya sendiri. Meskipun dia ikut menyumbang untuk kelangsungan
hidupku. Aku berusaha menjadi anak yang penurut, karena hanya itu yang baru
bisa aku lakukan untuk mereka. Tapi, keadaan berubah saat aku mulai memasuki
bangku SMA. Rasanya hidup tak adil untukku. Aku seringkali ribut dengan kakak
pertamaku karena masalah yang sepele. Ah dia terlalu membesar-besarkan masalah.
Hanya karena aku makan kebanyakan saat pulang sekolah. Dia membentak aku,
padahal ayah dan bunda pun tak pernah membentak dan memaki-maki aku seperti
yang dilakukan kakakku itu.
”Rere kan hanya ingin
makan kak? Apa gak boleh??” tanyaku pada kakak yang baru saja memarahiku.
”Bukannya tidak boleh, tapi kamu harus ingat dong sama yang lain! Kita sekarang
ini sedang krisis tau?” bentak
kakak padaku.
Spontan aku berlari ke kamar untuk melampiaskan kekesalanku dengan menangis.
Semua yang aku percaya adalah buku diaryku, meski tak bisa bicara aku yakin dia
mengerti akan kesedihanku.
Dear Diary,Kenapa aku harus mengalami
seperti ini? Setelah bunda pergi semuanya hancur. Ayah pergi dengan istri
barunya, sedangkan kakakku tidak mengerti tentang aku. Ya, Alloh hanya engkau
yang mengetahui segalanya, aku mohon sampaikan pada bunda kalau aku sayang dan
rindu sekali padanya.
Air mataku selalu menangis di kala malam hari
yang sepi. Aku selalu merindukan sosok seseorang yang bisa membawaku ke dalam
damai. Semuanya selalu dihiasi dengan air mata hingga akhirnya aku menginjak
kelas XII. Aku mulai kebal dengan makian kakakku bila dia marah padaku. Aku
juga mulai tidak peduli dengan masalah keluargaku. Yang aku pedulikan hanya
masalah sekolah dan teman-temanku, karena di hadapan mereka aku bisa terlihat
selalu ceria walaupun dalam hati aku sangat sengsara. Kadang aku ingin sekali
berbagi dengan mereka akan keadaan keluargaku, tapi aku hanya percaya dengan
diary usangku dan Alloh tentunya.
*********
Walaupun aku merasa telah menjadi anak yang broken home,
tapi alhamdulillah aku tidak menjadi anak yang nakal dan beringas. Aku selalu
mengikuti pengajian, dan selalu mengaji Al-Qur’an setiap habis sholat. Makanya,
semua orang melihatku baik-baik saja, anak yang baik dan sholehah. Saat aku di
sekolah, aku merasa kebebasan itu ada. Aku selalu mendapat pujian karena
kepintaranku di sekolah. Belajar, belajar dan belajar. Itu yang aku kerjakan di
sekolah. Sesekali aku bercanda dengan teman-temanku agar tak bosan.
”Hallo, teman-teman! Wah, ada yang bawa kue bolu neh? Mau dong? Punya
siapa?” tanyaku pada Reva and geng yang gi nongkrong di tangga sekolah.
”Punya Sani, Re. Kamu mau?” Reva menawarkan kue bolunya padaku.
”Boleh, boleh. Aku ambil 2 ya?” seruku sambil mengambil 2 bagian kue bolu itu.
”Rakus amat kamu Re? Pantesan bengkak gitu? Ha..ha..” ledek Asri.
”Enak aza, body kayak model gini disebut bengkak? Wah, bolunya manis banget
kayak kak Faisal..” spontan anak-anak menyorakiku.
”Hu…….. dasar di pikirannya ada kak Faisal mulu ya? jangan-jangan ada
hati nech?” ujar Reva.
”Biarin. Emang ga boleh aku ngefans ma kak Faisal?” jawabku tenang.
”Ga apa-apa sih, cuman bayar uang keamanan dulu ma aku!” kata Reva.
”Emang buka toko Va, pake uang keamanan segala?” jawabku.
”Iya, emangnya kamu preman, Va?” Asri ikut menimpali.
”Faisal kan sepupu aku? Mesti minta izin aku dulu kalau mau deketin dia.”jawab
Reva dengan enteng.
”Yeee, emangnya sapa yang mau deketin kak Faisal? Geer? San, makasih ya kue
bolunya?” ujarku sambil melangkah pergi.
”Sama-sama!” terdengar Sani sedikit berteriak.
Begitulah hari-hariku diwarnai dengan ketawa-ketiwi anak-anak SMA saat
di sekolah. Tapi, saat di rumah bagaikan dalam kuali besar yang didalamnya
terdapat air yang mendidih. Ayahku datang dengan istri barunya alias ibu tiriku
dan kakakku sama sekali tidak mau menyapanya lagi. Kenapa? Karena ibu tiriku
itu katanya tidak pernah menjawab senyum kakakku. Padahal beliau selalu senyum
padaku, mungkin karena aku lebih menghormati dia ketimbang kakakku. Aku hanya
mencoba menghormati orang yang lebih tua dariku. Padahal aku adalah orang yang
tidak setuju dengan pernikahan ayahku. Mungkin aku tidak siap mempunyai
pengganti bundaku, meski bundaku takkan bisa terganti oleh siapapun.
A New Dream...
Waktu berlalu sampai aku lulus dari
SMA. Kakakku sudah mulai melupakan masalah dengan ayah. Tapi, sekarang
masalahnya denganku, aku ingin sekali melanjutkan ke perguruan tinggi, tapi
kakakku menentangnya. Alasannya satu, ekonomi. Memang aku sadar aku hanya
berasal dari keluarga pas-pasan tapi apa salah aku punya cita-cita mulia? Kalau
aku sudah dapat gelar, terus punya kerja yang lebih baik daripada seorang buruh
karyawan, mereka juga kan yang menikmati hasilnya. Tapi, aku juga tidak mau
memaksakan kehendak, karena hanya membuat beban hidup saja. Sebenarnya aku
mendapat beasiswa dari beberapa universitas swasta. Tapi, saat aku konfirmasi
pada keluarga tetap saja mereka bilang tidak akan membantu tentang keuangan
kuliah aku.
”Tetap saja, dapat beasiswa juga.
Kuliah juga kan pake ongkos alias duit. Kamu mau dapet duit darimana? Pokoknya
kakak ga snggup kalau membiayai kuliah kamu. Belum lagi ini itu. Udahlah kerja
saja!” ujar kakakku saat aku bilang aku dapat beasiswa dari salah satu
universitas swasta.
Aku hanya bisa menurut, padahal kalau
aku ambil salah satu beasiswa itu, aku tidak akan seperti ini. Apapun yang dia
katakan harus aku turuti, sejujurnya aku benar-benar muak. Rasanya aku ingin
pergi jauh dari keluarga ini, ingin berontak, tapi aku banyak berhutang pada
mereka. Lagian, mereka kan keluargaku? Ada istilahnya bekas pacar atau bekas
suami, tapi keluarga? Aku tetap bertahan meskipun aku tahu kalau keluarga ini
sudah tidak sehat. Aku tak tahu harus bagaimana lagi? Sekarang dengan pekerjaan
yang menumpuk aku bisa sedikit menghindar dari masalah keluarga ini. Meski aku
sudah bukan tanggungan kakakku lagi, masalah tetap ada. Ayahku sekarang
pengangguran, maka dari itu beliau meninggalkan istri barunya untuk sementara
karena ayah mertuanya tidak mengizinkan ayah untuk bersama istrinya jika tidak
bekerja.
Aku menginginkan seseorang di
sampingku untuk sedikit melupakan apa yang terjadi dalam keluargaku. Kadang,
aku merasa hancur sendiri, tak ada tempat untuk berbagi. Aku tak bisa dekat
dengan kakakku karena sepertinya dia hanya menganggapku masih kecil. Bila aku
mencoba curhat padanya, mereka hanya bisa menertawakanku atau tidak menghinaku.
Aku butuh seseorang yang memotivasiku. Aku tahu mereka selalu baik padaku,
mengurusku dari dulu hingga sekarang, tapi aku tidak mau dianggap sebagai
benalu.
******
Akhirnya, aku merasa menemukan
semangat lagi. Dia adalah cinta pertamaku, Faisal. Saat aku sedang mengerjakan
tugas kantor di rumah, telepon genggamku berdering. Ternyata, saat aku angkat,
suara tegas tapi lembut menyapa.
”Assalamu’alaikum. Apa benar saya bicara dengan Rekalia Astri?” suara itu
bertanya.
”Benar, ini dengan siapa ya?” aku pun balik bertanya.
”Apa kabar, Re? Aku Faisal, kakak kelasmu waktu di SMA.” jawab pria itu.
”Subhanalloh. Baik saja kak! Kakak sendiri? Darimana kakak tahu nomor saya?
Kita kan gak bertemu hampir lima tahun?” aku kaget setelah mengetahui yang
menelepon adalah kak Faisal.
”Dari Reva, gak apa-apa kan kalau aku menelepon? Mengganggu?” tanya kak Faisal.
”Gak kok, gak apa-apa.” jawabku.
Faisal adalah kakak kelas di sekolahku dulu. Menurut ceritanya, sekarang dia
sedang kuliah di sebuah perguruan tinggi dan mengambil jurusan hukum,
sepertinya sebentar lagi juga rampung. Dia juga memiliki usaha kecil-kecilan.
Dia begitu bersahaja dan menawan. Itu yang membuat aku suka dia dari pertama
kami bertemu, hanya saja aku tidak berani mengungkapkan perasaanku padanya. Aku
hanya bisa senyum dan terdiam bila berpapasan dengannya.
Hari itu, aku mulai bersiap-siap bertemu dengan kak Faisal. Aku cukup lama
berdandan karena agak grogi bertemu dengannya. Setelah dirasa cukup, aku pun
pergi dan pamit pada kakakku. Aku naik bis agar cepat sampai karena satu jalur.
Kalau naik angkutan umum harus beberapa kali naik turun. Di perjalanan aku
membayangkan bagaimana wajah kak Faisal yang sudah lama tak kutemui. Tiba-tiba
bis oleng. Para penumpang mulai menjerit, terdengar ada yang berdo’a juga. Aku
pun ikut berdo’a. Saat aku mencoba berdiri, aku merasa terlempar ke depan, dan
sakit. Aku melihat darah dimana-mana, lama kelamaan semuanya jadi gelap........
******
Kami bertemu di cafe tempat kita
janjian. Kami saling menanyakan kabar dan kegiatan masing-masing. Kak Faisal
pun sering menelepon aku walau sekedar menanyakan kabarku hari ini. Aku merasa
tersanjung. Diskusi-diskusi tentang politik pun selalu mengalir. Kebetulan aku
dan kak Faisal bagian dari anggota sebuah partai politik yang sama namun tak
pernah bertemu di acara-acara yang diadakan sebelumnya.
Seiring berjalannya waktu, kak Faisal mengungkapkan perasaannya padaku.
Ternyata dia memiliki perasaan yang sama denganku.
”Re, aku mau bilang sesuatu.” kak Faisal membuka suara.
”Bilang saja, kak Faisal! Apaan sih? Serius amat?” jawabku.
”Sebenarnya dari dulu aku suka sama kamu. Tapi, aku gak berani. Takut
ditolak sama kamu. Tapi, sekarang setelah aku ketemu lagi sama kamu, aku
merasakan getaran-getaran itu lagi. Aku kira sudah hilang? Maukah kamu menjadi
seseorang yang aku sayangi seumur hidup aku?” ungkap kak Faisal.
Sumpah, rasanya aku mau pingsan mendengar kata-kata itu. Jujur, itu
yang aku tunggu selama memendam perasaanku padanya. Aku tahu dia adalah pemuda
yang baik, maka dari itu aku putuskan untuk menerimanya. Aku benar-benar merasakan
hidup bersama dia. Motivasi-motivasi yang dia berikan sungguh membuatku bisa
sedikit melupakan kejenuhan yang kurasakan selama ini. Aku selalu berdo’a
semoga dia adalah yang pertama dan terakhir bagiku. Puisi-puisi cinta selalu
mengalir dari tanganku. Rasanya dia memberiku semangat untuk menjalani hidup
dengannya. Aku bagaikan ratu dan dia rajanya, seandainya kami lebih cepat untuk
menikah. Tapi, sayang dia diharuskan menyelesaikan kuliah oleh orangtuanya.
Aku dikenalkan dengan orang tuanya, sepertinya mereka senang
terhadapku. Aku sering diajak ke rumahnya untuk bertemu orangtuanya, begitupun
sebaliknya, kak Faisal sering datang ke rumahku. Kami benar-benar senang karena
kedua belah pihak merestui hubungan kami. Aku hanya berusaha untuk menyiram
bunga-bunga cinta yang sedang mekar. Apa yang sedang terjadi padaku, ku
ceritakan padanya. Senangku, sedihku. Begitupun dia, pasti kami akan saling
terbuka dan jujur. Karena dengan kejujuran, akan menambah kepercayaan terhadap
masing-masing pribadi. Keadaan keluargaku pun berangsur-angsur membaik. Ayah
dan kakakku sudah tidak terlihat cekcok lagi, meski sekarang ayah sudah kembali
pada istrinya.
Hidupku serasa di puncak kebahagiaan, tinggal menunggu pangeranku datang untuk
membawa aku ke dalam keabadian cinta. Kami sering berangan tentang masa depan
kami kelak. Aku tahu kalau kak Faisal serius padaku. Keluargaku pun berharap
kalau kak Faisal adalah orang yang tepat untukku.
Suatu waktu, kak Faisal mengajakku untuk pergi ke taman kota. Aku tak tahu ada
acara apa, yang jelas dia bilang rahasia. Sesampainya di taman kota, aku
melihat banyak lilin yang menghampar dan membentuk hati. Aku kaget dan
bertanya,
”Apa ini? Maksud kakak apa?” tanyaku pada kak Faisal.
”Saat ini aku tahu kamu yang terbaik untukku. Dan kuharap aku pun yang terbaik
untukmu. Hari ini aku akan melamar kamu. Will you marry me?” tegasnya.
Sebuah petir, lebih tepatnya kembang api serasa menyambar. Kabar yang sangat
menggembirakan untukku.
”Benarkah? Tapi, orang tua kakak bagaimana? Katanya harus menyelesaikan kuliah
dulu?” tanyaku.
”Mereka sudah tahu apa alasan aku mempercepat semua ini. Aku ingin kamu selalu
disampingku untuk mendampingiku dan memberi semangat hidup untukku. Kamu mau
kan menikah denganku?” tegas kak Faisal lagi.
”Aku mau” jawabku singkat.
Saat aku memberitahukan hal ini pada keluargaku mereka hanya bisa
bersyukur dan gembira juga. Mereka pun menyetujui tujuan mulia ini. Persiapan
demi persiapan mulai kuurusi. Dibantu keluarga dan teman-temanku. Kak Faisal
pun mempersiapkan segalanya demi kelancaran di hari h. Ini seperti mimpi. Aku
mulai membagikan undangan pada teman-temanku dan tetangga-tetangga. Mereka ikut
berbahagia atas akan dilaksanakannya pernikahanku.
Seminggu sebelum hari pernikahanku, aku bermimpi tinggal di istana yang penuh
dengan bunga. Aku melihat kak Faisal berdiri di depanku dan memelukku. Dia
menciumiku, seraya berkata,
”Kau adalah anugerah terindah yang dikirim tuhan untukku. Untuk mendampingiku
seumur hidupku. Bidadari paling cantik yang akan menghiasi hari-hariku. Impian
terakhirku adalah mati di pangkuanmu.”
Ketika di mimpiku kami asyik b....., tiba-tiba telepon genggamku
berdering.
”Re, kamu harus segera ke rumah sakit!” adiknya kak Faisal, Fara meneleponku.
”Ada apa Fara?” aku bertanya padanya.
”Pokoknya kamu harus ke sini! Darurat Re!” teriak Fara.
Sepertinya dia menangis, tapi kenapa? Aku bertanya-tanya di dalam hati.
Secepatnya aku harus tiba di sana, pikirku. Aku harus tahu apa yang telah
terjadi.
Sesampainya di rumah sakit, aku merasa keluarga Faisal melihatku iba. Aku
susuri satu persatu, mama, papa, kak Fera, dan Fara ada disana. Tapi aku tak
melihat calon suamiku ikut berdiri. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Aku
merasakan firasat yang tidak baik. Belum sempat aku bertanya apa yang sedang
terjadi, dokter keluar dari sebuah ruangan dan memanggil namaku.
”Maaf, ada yang bernama Rere disini. Pasien ingin bertemu.” kata dokter itu.
”Saya, dokter.” aku pun berlari kecil menuju ruangan yang serba putih itu, aku
pun melihat wajah yang bercahaya namun serasa menahan sakit sedang terbaring
lemah. Spontan aku berteriak dan menangis.
”Kak Faisal? Apa yang terjadi?” aku tak sanggup menahan air mata ini.
”Dia mengalami kecelakaan saat mau pergi ke rumahmu nak Rere.” papanya kak
Faisal yang menjawab semuanya.
”Tante sudah melarangnya, karena tidak baik menemui calon istri kira-kira
seminggu sebelum pernikahan. Tapi, dia nekat.” terdengar mamanya menangis
tersedu-sedu.
”Kenapa kak Faisal begini?” aku merasa kehilangan semangat.
”Rere..” kak Faisal memanggil namaku.
Aku pun menggenggam tangannya, aku ingin memberi dia semangat dan keyakinan
kalau dia akan sembuh.
Tiba-tiba tangannya menggenggamku kuat. Dia terlihat menahan sakit yang begitu
dalam. Aku mencoba menenangkannya. Kulihat mulutnya mengucapkan kata ”Rere, aku
sayang sama kamu” dan kemudian mengucapkan syahadat. Aku spontan memeluknya dan
keluarganya terdengar menangis semakin keras.
Dan..
Dia benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya di pelukanku. Persis dengan apa
yang dia inginkan dalam mimpiku tadi malam. Aku menangis dan ruangan terlihat
gelap.
Saat aku terbangun, rasanya aku telah lama tertidur. Aku berada di
ruangan yang serba putih. Aku meliaht disampingku ada kakakku yang sedang
tertidur. Aku mencoba membangunkannya. Sesaat dia terbangun, dan seketika
memelukku.
”Aku kenapa?” tanyaku.
”Kamu kecelakaan Re.” jawab kakakku.
”Kecelakaan? Bukankah yang kecelakaan itu kak Faisal?” tanyaku kembali.
”Faisal siapa? Kamu kecelakaan setelah hari itu pamit untuk pergi dengan
temanmu. Lalu kami mendapat kabar kalau kamu menjadi korban kecelakaan dan kamu
koma selama 5 bulan ini.” jelas kakakku.
”5 bulan? Jadi semuanya hanya mimpi?” aku baru menyadari kalau kisah
indahku hanyalah mimpi. Kak Faisal, mimpi-mimpiku dengannya. Semua hanya mimpi.
Aku spontan menangis. Impianku ternyata benar-benar mimpi. Rasanya terlalu
sakit untukku kehilangan kak Faisal. Ternyata, aku belum sempat bertemu
dengannya di cafe sore itu. Sepertinya kak Faisal pun tidak tahu kalau aku
mengalami kecelakaan. Aku pun tidak bisa menghubunginya karena telepon
genggamku hilang saat kejadian itu. Aku merasa sepi kembali. Biarlah mimpi itu
terkubur bersama ketidakberdayaanku. Aku semakin terpuruk dengan keadaanku yang
ternyata sudah lumpuh. Aku hanya bisa berharap bisa sembuh dan bertemu orang
yang akan menerimaku apa adanya.
Masalah lain muncul ketika aku tahu kalau untuk biaya pengobatanku memakai uang
tabungan kakakku. Aku merasa berhutang padanya. Tapi, bagaimana aku bisa
membayarnya? Aku sekarang lumpuh total, tak bisa mengerjakan apa-apa lagi
apalagi bekerja. Kulihat kakakku sering uring-uringan meski dia tak menampakkan
padaku bahwa aku harus mengganti semua tabungannya. Ternyata dalam 5 bulan saat
aku koma, ayah pergi bersama istrinya ke luar kota. Mereka memulai hidup baru
di sana. Mungkin hanya beliau yang tahu apa alasannya. Aku hanya bisa
mendo’akan beliau semoga tetap dalam lindunganNya meskipun hatiku sakit karena
beliau tak menemaniku sewaktu aku sakit.
Di ujung penantianku ini aku hanya bisa memohon pada Alloh untuk membukakan
jalan yang terbaik untukku. Semua yang telah aku alami kuanggap sebuah ujian
dalam hidupku. Aku harus bisa tetap bersabar menghadapi semua ini. Aku yakin
semua akan ada jalan keluar dan terindah untukku. Semua mimpi yang
tertunda ini suatu saat nanti akan menjadi kenyataan. Amin…
Apa yang aku inginkan selalu dikabulkan ayah. Dari mainan hingga sepatu mahal yang bagus untuk sekolah apalagi saat ayah tahu nilai raportku selalu mendapat rangking 1. Tapi....., semuanya hilang saat bunda meninggal saat aku menginjak kelas VII di SMP favorit. Semua bersedih karena kehilangan bunda, bundaku itu sangat ramah dan baik pada setiap orang. Maka dari itu, saat pemakamannya banyak sekali orang yang datang untuk melepaskan kepergian bunda. Ayah pun sudah tidak bekerja karena 2 bulan lamanya mengurus bunda yang sakit, rasanya beliau kehilangan bidadari cantik yang selama ini menemaninya.
Kakakku berusaha semaksimal mungkin membantu ayah untuk mengurus rumah tangga. Selama ayah tidak bekerja, dialah yang memberi makan dan tentunya memenuhi kebutuhan kami sekeluarga. Sampai menikah pun dia tetap mengurus kami, adik-adiknya. Kakakku yang kedua agak tidak peduli dengan yang terjadi di sekitarnya. Dia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Meskipun dia ikut menyumbang untuk kelangsungan hidupku. Aku berusaha menjadi anak yang penurut, karena hanya itu yang baru bisa aku lakukan untuk mereka. Tapi, keadaan berubah saat aku mulai memasuki bangku SMA. Rasanya hidup tak adil untukku. Aku seringkali ribut dengan kakak pertamaku karena masalah yang sepele. Ah dia terlalu membesar-besarkan masalah. Hanya karena aku makan kebanyakan saat pulang sekolah. Dia membentak aku, padahal ayah dan bunda pun tak pernah membentak dan memaki-maki aku seperti yang dilakukan kakakku itu.
”Rere kan hanya ingin makan kak? Apa gak boleh??” tanyaku pada kakak yang baru saja memarahiku.
”Bukannya tidak boleh, tapi kamu harus ingat dong sama yang lain! Kita sekarang ini sedang krisis tau?” bentak kakak padaku.
Spontan aku berlari ke kamar untuk melampiaskan kekesalanku dengan menangis. Semua yang aku percaya adalah buku diaryku, meski tak bisa bicara aku yakin dia mengerti akan kesedihanku.
Dear Diary,Kenapa aku harus mengalami seperti ini? Setelah bunda pergi semuanya hancur. Ayah pergi dengan istri barunya, sedangkan kakakku tidak mengerti tentang aku. Ya, Alloh hanya engkau yang mengetahui segalanya, aku mohon sampaikan pada bunda kalau aku sayang dan rindu sekali padanya.
*********
”Punya Sani, Re. Kamu mau?” Reva menawarkan kue bolunya padaku.
”Boleh, boleh. Aku ambil 2 ya?” seruku sambil mengambil 2 bagian kue bolu itu.
”Rakus amat kamu Re? Pantesan bengkak gitu? Ha..ha..” ledek Asri.
”Enak aza, body kayak model gini disebut bengkak? Wah, bolunya manis banget kayak kak Faisal..” spontan anak-anak menyorakiku.
”Biarin. Emang ga boleh aku ngefans ma kak Faisal?” jawabku tenang.
”Ga apa-apa sih, cuman bayar uang keamanan dulu ma aku!” kata Reva.
”Emang buka toko Va, pake uang keamanan segala?” jawabku.
”Iya, emangnya kamu preman, Va?” Asri ikut menimpali.
”Faisal kan sepupu aku? Mesti minta izin aku dulu kalau mau deketin dia.”jawab Reva dengan enteng.
”Yeee, emangnya sapa yang mau deketin kak Faisal? Geer? San, makasih ya kue bolunya?” ujarku sambil melangkah pergi.
”Sama-sama!” terdengar Sani sedikit berteriak.
A New Dream...
Waktu berlalu sampai aku lulus dari SMA. Kakakku sudah mulai melupakan masalah dengan ayah. Tapi, sekarang masalahnya denganku, aku ingin sekali melanjutkan ke perguruan tinggi, tapi kakakku menentangnya. Alasannya satu, ekonomi. Memang aku sadar aku hanya berasal dari keluarga pas-pasan tapi apa salah aku punya cita-cita mulia? Kalau aku sudah dapat gelar, terus punya kerja yang lebih baik daripada seorang buruh karyawan, mereka juga kan yang menikmati hasilnya. Tapi, aku juga tidak mau memaksakan kehendak, karena hanya membuat beban hidup saja. Sebenarnya aku mendapat beasiswa dari beberapa universitas swasta. Tapi, saat aku konfirmasi pada keluarga tetap saja mereka bilang tidak akan membantu tentang keuangan kuliah aku.
”Tetap saja, dapat beasiswa juga. Kuliah juga kan pake ongkos alias duit. Kamu mau dapet duit darimana? Pokoknya kakak ga snggup kalau membiayai kuliah kamu. Belum lagi ini itu. Udahlah kerja saja!” ujar kakakku saat aku bilang aku dapat beasiswa dari salah satu universitas swasta.
Aku hanya bisa menurut, padahal kalau aku ambil salah satu beasiswa itu, aku tidak akan seperti ini. Apapun yang dia katakan harus aku turuti, sejujurnya aku benar-benar muak. Rasanya aku ingin pergi jauh dari keluarga ini, ingin berontak, tapi aku banyak berhutang pada mereka. Lagian, mereka kan keluargaku? Ada istilahnya bekas pacar atau bekas suami, tapi keluarga? Aku tetap bertahan meskipun aku tahu kalau keluarga ini sudah tidak sehat. Aku tak tahu harus bagaimana lagi? Sekarang dengan pekerjaan yang menumpuk aku bisa sedikit menghindar dari masalah keluarga ini. Meski aku sudah bukan tanggungan kakakku lagi, masalah tetap ada. Ayahku sekarang pengangguran, maka dari itu beliau meninggalkan istri barunya untuk sementara karena ayah mertuanya tidak mengizinkan ayah untuk bersama istrinya jika tidak bekerja.
Aku menginginkan seseorang di sampingku untuk sedikit melupakan apa yang terjadi dalam keluargaku. Kadang, aku merasa hancur sendiri, tak ada tempat untuk berbagi. Aku tak bisa dekat dengan kakakku karena sepertinya dia hanya menganggapku masih kecil. Bila aku mencoba curhat padanya, mereka hanya bisa menertawakanku atau tidak menghinaku. Aku butuh seseorang yang memotivasiku. Aku tahu mereka selalu baik padaku, mengurusku dari dulu hingga sekarang, tapi aku tidak mau dianggap sebagai benalu.
Akhirnya, aku merasa menemukan semangat lagi. Dia adalah cinta pertamaku, Faisal. Saat aku sedang mengerjakan tugas kantor di rumah, telepon genggamku berdering. Ternyata, saat aku angkat, suara tegas tapi lembut menyapa.
”Assalamu’alaikum. Apa benar saya bicara dengan Rekalia Astri?” suara itu bertanya.
”Benar, ini dengan siapa ya?” aku pun balik bertanya.
”Apa kabar, Re? Aku Faisal, kakak kelasmu waktu di SMA.” jawab pria itu.
”Subhanalloh. Baik saja kak! Kakak sendiri? Darimana kakak tahu nomor saya? Kita kan gak bertemu hampir lima tahun?” aku kaget setelah mengetahui yang menelepon adalah kak Faisal.
”Dari Reva, gak apa-apa kan kalau aku menelepon? Mengganggu?” tanya kak Faisal.
”Gak kok, gak apa-apa.” jawabku.
Faisal adalah kakak kelas di sekolahku dulu. Menurut ceritanya, sekarang dia sedang kuliah di sebuah perguruan tinggi dan mengambil jurusan hukum, sepertinya sebentar lagi juga rampung. Dia juga memiliki usaha kecil-kecilan. Dia begitu bersahaja dan menawan. Itu yang membuat aku suka dia dari pertama kami bertemu, hanya saja aku tidak berani mengungkapkan perasaanku padanya. Aku hanya bisa senyum dan terdiam bila berpapasan dengannya.
Hari itu, aku mulai bersiap-siap bertemu dengan kak Faisal. Aku cukup lama berdandan karena agak grogi bertemu dengannya. Setelah dirasa cukup, aku pun pergi dan pamit pada kakakku. Aku naik bis agar cepat sampai karena satu jalur. Kalau naik angkutan umum harus beberapa kali naik turun. Di perjalanan aku membayangkan bagaimana wajah kak Faisal yang sudah lama tak kutemui. Tiba-tiba bis oleng. Para penumpang mulai menjerit, terdengar ada yang berdo’a juga. Aku pun ikut berdo’a. Saat aku mencoba berdiri, aku merasa terlempar ke depan, dan sakit. Aku melihat darah dimana-mana, lama kelamaan semuanya jadi gelap........
Kami bertemu di cafe tempat kita janjian. Kami saling menanyakan kabar dan kegiatan masing-masing. Kak Faisal pun sering menelepon aku walau sekedar menanyakan kabarku hari ini. Aku merasa tersanjung. Diskusi-diskusi tentang politik pun selalu mengalir. Kebetulan aku dan kak Faisal bagian dari anggota sebuah partai politik yang sama namun tak pernah bertemu di acara-acara yang diadakan sebelumnya.
”Bilang saja, kak Faisal! Apaan sih? Serius amat?” jawabku.
”Sebenarnya dari dulu aku suka sama kamu. Tapi, aku gak berani. Takut ditolak sama kamu. Tapi, sekarang setelah aku ketemu lagi sama kamu, aku merasakan getaran-getaran itu lagi. Aku kira sudah hilang? Maukah kamu menjadi seseorang yang aku sayangi seumur hidup aku?” ungkap kak Faisal.
Hidupku serasa di puncak kebahagiaan, tinggal menunggu pangeranku datang untuk membawa aku ke dalam keabadian cinta. Kami sering berangan tentang masa depan kami kelak. Aku tahu kalau kak Faisal serius padaku. Keluargaku pun berharap kalau kak Faisal adalah orang yang tepat untukku.
Suatu waktu, kak Faisal mengajakku untuk pergi ke taman kota. Aku tak tahu ada acara apa, yang jelas dia bilang rahasia. Sesampainya di taman kota, aku melihat banyak lilin yang menghampar dan membentuk hati. Aku kaget dan bertanya,
”Saat ini aku tahu kamu yang terbaik untukku. Dan kuharap aku pun yang terbaik untukmu. Hari ini aku akan melamar kamu. Will you marry me?” tegasnya.
Sebuah petir, lebih tepatnya kembang api serasa menyambar. Kabar yang sangat menggembirakan untukku.
”Benarkah? Tapi, orang tua kakak bagaimana? Katanya harus menyelesaikan kuliah dulu?” tanyaku.
”Mereka sudah tahu apa alasan aku mempercepat semua ini. Aku ingin kamu selalu disampingku untuk mendampingiku dan memberi semangat hidup untukku. Kamu mau kan menikah denganku?” tegas kak Faisal lagi.
”Aku mau” jawabku singkat.
Seminggu sebelum hari pernikahanku, aku bermimpi tinggal di istana yang penuh dengan bunga. Aku melihat kak Faisal berdiri di depanku dan memelukku. Dia menciumiku, seraya berkata,
”Kau adalah anugerah terindah yang dikirim tuhan untukku. Untuk mendampingiku seumur hidupku. Bidadari paling cantik yang akan menghiasi hari-hariku. Impian terakhirku adalah mati di pangkuanmu.”
”Re, kamu harus segera ke rumah sakit!” adiknya kak Faisal, Fara meneleponku.
”Ada apa Fara?” aku bertanya padanya.
”Pokoknya kamu harus ke sini! Darurat Re!” teriak Fara.
Sepertinya dia menangis, tapi kenapa? Aku bertanya-tanya di dalam hati. Secepatnya aku harus tiba di sana, pikirku. Aku harus tahu apa yang telah terjadi.
Sesampainya di rumah sakit, aku merasa keluarga Faisal melihatku iba. Aku susuri satu persatu, mama, papa, kak Fera, dan Fara ada disana. Tapi aku tak melihat calon suamiku ikut berdiri. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Aku merasakan firasat yang tidak baik. Belum sempat aku bertanya apa yang sedang terjadi, dokter keluar dari sebuah ruangan dan memanggil namaku.
”Maaf, ada yang bernama Rere disini. Pasien ingin bertemu.” kata dokter itu.
”Saya, dokter.” aku pun berlari kecil menuju ruangan yang serba putih itu, aku pun melihat wajah yang bercahaya namun serasa menahan sakit sedang terbaring lemah. Spontan aku berteriak dan menangis.
”Kak Faisal? Apa yang terjadi?” aku tak sanggup menahan air mata ini.
”Dia mengalami kecelakaan saat mau pergi ke rumahmu nak Rere.” papanya kak Faisal yang menjawab semuanya.
”Tante sudah melarangnya, karena tidak baik menemui calon istri kira-kira seminggu sebelum pernikahan. Tapi, dia nekat.” terdengar mamanya menangis tersedu-sedu.
”Kenapa kak Faisal begini?” aku merasa kehilangan semangat.
”Rere..” kak Faisal memanggil namaku.
Aku pun menggenggam tangannya, aku ingin memberi dia semangat dan keyakinan kalau dia akan sembuh.
Tiba-tiba tangannya menggenggamku kuat. Dia terlihat menahan sakit yang begitu dalam. Aku mencoba menenangkannya. Kulihat mulutnya mengucapkan kata ”Rere, aku sayang sama kamu” dan kemudian mengucapkan syahadat. Aku spontan memeluknya dan keluarganya terdengar menangis semakin keras.
Dan..
Dia benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya di pelukanku. Persis dengan apa yang dia inginkan dalam mimpiku tadi malam. Aku menangis dan ruangan terlihat gelap.
”Kamu kecelakaan Re.” jawab kakakku.
”Kecelakaan? Bukankah yang kecelakaan itu kak Faisal?” tanyaku kembali.
”Faisal siapa? Kamu kecelakaan setelah hari itu pamit untuk pergi dengan temanmu. Lalu kami mendapat kabar kalau kamu menjadi korban kecelakaan dan kamu koma selama 5 bulan ini.” jelas kakakku.
Masalah lain muncul ketika aku tahu kalau untuk biaya pengobatanku memakai uang tabungan kakakku. Aku merasa berhutang padanya. Tapi, bagaimana aku bisa membayarnya? Aku sekarang lumpuh total, tak bisa mengerjakan apa-apa lagi apalagi bekerja. Kulihat kakakku sering uring-uringan meski dia tak menampakkan padaku bahwa aku harus mengganti semua tabungannya. Ternyata dalam 5 bulan saat aku koma, ayah pergi bersama istrinya ke luar kota. Mereka memulai hidup baru di sana. Mungkin hanya beliau yang tahu apa alasannya. Aku hanya bisa mendo’akan beliau semoga tetap dalam lindunganNya meskipun hatiku sakit karena beliau tak menemaniku sewaktu aku sakit.
Di ujung penantianku ini aku hanya bisa memohon pada Alloh untuk membukakan jalan yang terbaik untukku. Semua yang telah aku alami kuanggap sebuah ujian dalam hidupku. Aku harus bisa tetap bersabar menghadapi semua ini. Aku yakin semua akan ada jalan keluar dan terindah untukku. Semua mimpi yang tertunda ini suatu saat nanti akan menjadi kenyataan. Amin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar