Halaman

Rabu, 12 Juni 2013

Folsima Urung Menjelma

Aku tidak tahu harus memulai dari mana? Yang pasti hancurnya hidupku dimulai dari masa-masa SMA. Sekarang aku sudah memiliki pekerjaan sebagai karyawati di sebuah perusahaan swasta di daerah Bandung. Saat kecil aku cukup dimanja oleh orang tuaku karena aku anak bungsu, masa kecilku dihabiskan untuk bermain dan bermain. 

Apa yang aku inginkan selalu dikabulkan ayah. Dari mainan hingga sepatu mahal yang bagus untuk sekolah apalagi saat ayah tahu nilai raportku selalu mendapat rangking 1. Tapi....., semuanya hilang saat bunda meninggal saat aku menginjak kelas VII di SMP favorit. Semua bersedih karena kehilangan bunda, bundaku itu sangat ramah dan baik pada setiap orang. Maka dari itu, saat pemakamannya banyak sekali orang yang datang untuk melepaskan kepergian bunda. Ayah pun sudah tidak bekerja karena 2 bulan lamanya mengurus bunda yang sakit, rasanya beliau kehilangan bidadari cantik yang selama ini menemaninya.

Kakakku berusaha semaksimal mungkin membantu ayah untuk mengurus rumah tangga. Selama ayah tidak bekerja, dialah yang memberi makan dan tentunya memenuhi kebutuhan kami sekeluarga. Sampai menikah pun dia tetap mengurus kami, adik-adiknya. Kakakku yang kedua agak tidak peduli dengan yang terjadi di sekitarnya. Dia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Meskipun dia ikut menyumbang untuk kelangsungan hidupku. Aku berusaha menjadi anak yang penurut, karena hanya itu yang baru bisa aku lakukan untuk mereka. Tapi, keadaan berubah saat aku mulai memasuki bangku SMA. Rasanya hidup tak adil untukku. Aku seringkali ribut dengan kakak pertamaku karena masalah yang sepele. Ah dia terlalu membesar-besarkan masalah. Hanya karena aku makan kebanyakan saat pulang sekolah. Dia membentak aku, padahal ayah dan bunda pun tak pernah membentak dan memaki-maki aku seperti yang dilakukan kakakku itu. 

”Rere kan hanya ingin makan kak? Apa gak boleh??” tanyaku pada kakak yang baru saja memarahiku.
”Bukannya tidak boleh, tapi kamu harus ingat dong sama yang lain! Kita sekarang ini sedang krisis tau?”
 bentak kakak padaku.

Spontan aku berlari ke kamar untuk melampiaskan kekesalanku dengan menangis. Semua yang aku percaya adalah buku diaryku, meski tak bisa bicara aku yakin dia mengerti akan kesedihanku.


Dear Diary,Kenapa aku harus mengalami seperti ini? Setelah bunda pergi semuanya hancur. Ayah pergi dengan istri barunya, sedangkan kakakku tidak mengerti tentang aku. Ya, Alloh hanya engkau yang mengetahui segalanya, aku mohon sampaikan pada bunda kalau aku sayang dan rindu sekali padanya.


Air mataku selalu menangis di kala malam hari yang sepi. Aku selalu merindukan sosok seseorang yang bisa membawaku ke dalam damai. Semuanya selalu dihiasi dengan air mata hingga akhirnya aku menginjak kelas XII. Aku mulai kebal dengan makian kakakku bila dia marah padaku. Aku juga mulai tidak peduli dengan masalah keluargaku. Yang aku pedulikan hanya masalah sekolah dan teman-temanku, karena di hadapan mereka aku bisa terlihat selalu ceria walaupun dalam hati aku sangat sengsara. Kadang aku ingin sekali berbagi dengan mereka akan keadaan keluargaku, tapi aku hanya percaya dengan diary usangku dan Alloh tentunya.

*********
Walaupun aku merasa telah menjadi anak yang broken home, tapi alhamdulillah aku tidak menjadi anak yang nakal dan beringas. Aku selalu mengikuti pengajian, dan selalu mengaji Al-Qur’an setiap habis sholat. Makanya, semua orang melihatku baik-baik saja, anak yang baik dan sholehah. Saat aku di sekolah, aku merasa kebebasan itu ada. Aku selalu mendapat pujian karena kepintaranku di sekolah. Belajar, belajar dan belajar. Itu yang aku kerjakan di sekolah. Sesekali aku bercanda dengan teman-temanku agar tak bosan.


”Hallo, teman-teman! Wah, ada yang bawa kue bolu neh? Mau dong? Punya siapa?” tanyaku pada Reva and geng yang gi nongkrong di tangga sekolah.
”Punya Sani, Re. Kamu mau?” Reva menawarkan kue bolunya padaku.
”Boleh, boleh. Aku ambil 2 ya?” seruku sambil mengambil 2 bagian kue bolu itu.
”Rakus amat kamu Re? Pantesan bengkak gitu? Ha..ha..” ledek Asri.
”Enak aza, body kayak model gini disebut bengkak? Wah, bolunya manis banget kayak kak Faisal..” spontan anak-anak menyorakiku.

”Hu…….. dasar di pikirannya ada kak Faisal mulu ya? jangan-jangan ada hati nech?” ujar Reva.
”Biarin. Emang ga boleh aku ngefans ma kak Faisal?” jawabku tenang.
”Ga apa-apa sih, cuman bayar uang keamanan dulu  ma aku!” kata Reva.
”Emang buka toko Va, pake uang keamanan segala?” jawabku.
”Iya, emangnya kamu preman, Va?” Asri ikut menimpali.
”Faisal kan sepupu aku? Mesti minta izin aku dulu kalau mau deketin dia.”jawab Reva dengan enteng.
”Yeee, emangnya sapa yang mau deketin kak Faisal? Geer? San, makasih ya kue bolunya?” ujarku sambil melangkah pergi.
”Sama-sama!” terdengar Sani sedikit berteriak.

Begitulah hari-hariku diwarnai dengan ketawa-ketiwi anak-anak SMA saat di sekolah. Tapi, saat di rumah bagaikan dalam kuali besar yang didalamnya terdapat air yang mendidih. Ayahku datang dengan istri barunya alias ibu tiriku dan kakakku sama sekali tidak mau menyapanya lagi. Kenapa? Karena ibu tiriku itu katanya tidak pernah menjawab senyum kakakku. Padahal beliau selalu senyum padaku, mungkin karena aku lebih menghormati dia ketimbang kakakku. Aku hanya mencoba menghormati orang yang lebih tua dariku. Padahal aku adalah orang yang tidak  setuju dengan pernikahan ayahku. Mungkin aku tidak siap mempunyai pengganti bundaku, meski bundaku takkan bisa terganti oleh siapapun.

A New Dream...
Waktu berlalu sampai aku lulus dari SMA. Kakakku sudah mulai melupakan masalah dengan ayah. Tapi, sekarang masalahnya denganku, aku ingin sekali melanjutkan ke perguruan tinggi, tapi kakakku menentangnya. Alasannya satu, ekonomi. Memang aku sadar aku hanya berasal dari keluarga pas-pasan tapi apa salah aku punya cita-cita mulia? Kalau aku sudah dapat gelar, terus punya kerja yang lebih baik daripada seorang buruh karyawan, mereka juga kan yang menikmati hasilnya. Tapi, aku juga tidak mau memaksakan kehendak, karena hanya membuat beban hidup saja. Sebenarnya aku mendapat beasiswa dari beberapa universitas swasta. Tapi, saat aku konfirmasi pada keluarga tetap saja mereka bilang tidak akan membantu tentang keuangan kuliah aku.

”Tetap saja, dapat beasiswa juga. Kuliah juga kan pake ongkos alias duit. Kamu mau dapet duit darimana? Pokoknya kakak ga snggup kalau membiayai kuliah kamu. Belum lagi ini itu. Udahlah kerja saja!” ujar kakakku saat aku bilang aku dapat beasiswa dari salah satu universitas swasta.

Aku hanya bisa menurut, padahal kalau aku ambil salah satu beasiswa itu, aku tidak akan seperti ini. Apapun yang dia katakan harus aku turuti, sejujurnya aku benar-benar muak. Rasanya aku ingin pergi jauh dari keluarga ini, ingin berontak, tapi aku banyak berhutang pada mereka. Lagian, mereka kan keluargaku? Ada istilahnya bekas pacar atau bekas suami, tapi keluarga? Aku tetap bertahan meskipun aku tahu kalau keluarga ini sudah tidak sehat. Aku tak tahu harus bagaimana lagi? Sekarang dengan pekerjaan yang menumpuk aku bisa sedikit menghindar dari masalah keluarga ini. Meski aku sudah bukan tanggungan kakakku lagi, masalah tetap ada. Ayahku sekarang pengangguran, maka dari itu beliau meninggalkan istri barunya untuk sementara karena ayah mertuanya tidak mengizinkan ayah untuk bersama istrinya jika tidak bekerja.

Aku menginginkan seseorang di sampingku untuk sedikit melupakan apa yang terjadi dalam keluargaku. Kadang, aku merasa hancur sendiri, tak ada tempat untuk berbagi. Aku tak bisa dekat dengan kakakku karena sepertinya dia hanya menganggapku masih kecil. Bila aku mencoba curhat padanya, mereka hanya bisa menertawakanku atau tidak menghinaku. Aku butuh seseorang yang memotivasiku. Aku tahu mereka selalu baik padaku, mengurusku dari dulu hingga sekarang, tapi aku tidak mau dianggap sebagai benalu.
******


Akhirnya, aku merasa menemukan semangat lagi. Dia adalah cinta pertamaku, Faisal. Saat aku sedang mengerjakan tugas kantor di rumah, telepon genggamku berdering. Ternyata, saat aku angkat, suara tegas tapi lembut menyapa.

”Assalamu’alaikum. Apa benar saya bicara dengan Rekalia Astri?” suara itu bertanya.
”Benar, ini dengan siapa ya?” aku pun balik bertanya.
”Apa kabar, Re? Aku Faisal, kakak kelasmu waktu di SMA.” jawab pria itu.
”Subhanalloh. Baik saja kak! Kakak sendiri? Darimana kakak tahu nomor saya? Kita kan gak bertemu hampir lima tahun?” aku kaget setelah mengetahui yang menelepon adalah kak Faisal.
”Dari Reva, gak apa-apa kan kalau aku menelepon? Mengganggu?” tanya kak Faisal.
”Gak kok, gak apa-apa.” jawabku.

Faisal adalah kakak kelas di sekolahku dulu. Menurut ceritanya, sekarang dia sedang kuliah di sebuah perguruan tinggi dan mengambil jurusan hukum, sepertinya sebentar lagi juga rampung. Dia juga memiliki usaha kecil-kecilan. Dia begitu bersahaja dan menawan. Itu yang membuat aku suka dia dari pertama kami bertemu, hanya saja aku tidak berani mengungkapkan perasaanku padanya. Aku hanya bisa senyum dan terdiam bila berpapasan dengannya.

Hari itu, aku mulai bersiap-siap bertemu dengan kak Faisal. Aku cukup lama berdandan karena agak grogi bertemu dengannya. Setelah dirasa cukup, aku pun pergi dan pamit pada kakakku. Aku naik bis agar cepat sampai karena satu jalur. Kalau naik angkutan umum harus beberapa kali naik turun. Di perjalanan aku membayangkan bagaimana wajah kak Faisal yang sudah lama tak kutemui. Tiba-tiba bis oleng. Para penumpang mulai menjerit, terdengar ada yang berdo’a juga. Aku pun ikut berdo’a. Saat aku mencoba berdiri, aku merasa terlempar ke depan, dan sakit. Aku melihat darah dimana-mana, lama kelamaan semuanya jadi gelap........
******

Kami bertemu di cafe tempat kita janjian. Kami saling menanyakan kabar dan kegiatan masing-masing. Kak Faisal pun sering menelepon aku walau sekedar menanyakan kabarku hari ini. Aku merasa tersanjung. Diskusi-diskusi tentang politik pun selalu mengalir. Kebetulan aku dan kak Faisal bagian dari anggota sebuah partai politik yang sama namun tak pernah bertemu di acara-acara yang diadakan sebelumnya.

Seiring berjalannya waktu, kak Faisal mengungkapkan perasaannya padaku. Ternyata dia memiliki perasaan yang sama denganku.

”Re, aku mau bilang sesuatu.” kak Faisal membuka suara.
”Bilang saja, kak Faisal! Apaan sih? Serius amat?” jawabku.
”Sebenarnya dari dulu aku suka sama  kamu. Tapi, aku gak berani. Takut ditolak sama kamu. Tapi, sekarang setelah aku ketemu lagi sama kamu, aku merasakan getaran-getaran itu lagi. Aku kira sudah hilang? Maukah kamu menjadi seseorang yang aku sayangi seumur hidup aku?” ungkap kak Faisal.

Sumpah, rasanya aku mau pingsan mendengar kata-kata itu. Jujur, itu yang aku tunggu selama memendam perasaanku padanya. Aku tahu dia adalah pemuda yang baik, maka dari itu aku putuskan untuk menerimanya. Aku benar-benar merasakan hidup bersama dia. Motivasi-motivasi yang dia berikan sungguh membuatku bisa sedikit melupakan kejenuhan yang kurasakan selama ini. Aku selalu berdo’a semoga dia adalah yang pertama dan terakhir bagiku. Puisi-puisi cinta selalu mengalir dari tanganku. Rasanya dia memberiku semangat untuk menjalani hidup dengannya. Aku bagaikan ratu dan dia rajanya, seandainya kami lebih cepat untuk menikah. Tapi, sayang dia diharuskan menyelesaikan kuliah oleh orangtuanya.

Aku dikenalkan dengan orang tuanya, sepertinya mereka senang terhadapku. Aku sering diajak ke rumahnya untuk bertemu orangtuanya, begitupun sebaliknya, kak Faisal sering datang ke rumahku. Kami benar-benar senang karena kedua belah pihak merestui hubungan kami. Aku hanya berusaha untuk menyiram bunga-bunga cinta yang sedang mekar. Apa yang sedang terjadi padaku, ku ceritakan padanya. Senangku, sedihku. Begitupun dia, pasti kami akan saling terbuka dan jujur. Karena dengan kejujuran, akan menambah kepercayaan terhadap masing-masing pribadi. Keadaan keluargaku pun berangsur-angsur membaik. Ayah dan kakakku sudah tidak terlihat cekcok lagi, meski sekarang ayah sudah kembali pada istrinya.

Hidupku serasa di puncak kebahagiaan, tinggal menunggu pangeranku datang untuk membawa aku ke dalam keabadian cinta. Kami sering berangan tentang masa depan kami kelak. Aku tahu kalau kak Faisal serius padaku. Keluargaku pun berharap kalau kak Faisal adalah orang yang tepat untukku.

Suatu waktu, kak Faisal mengajakku untuk pergi ke taman kota. Aku tak tahu ada acara apa, yang jelas dia bilang rahasia. Sesampainya di taman kota, aku melihat banyak lilin yang menghampar dan membentuk hati. Aku kaget dan bertanya,


”Apa ini? Maksud kakak apa?” tanyaku pada kak Faisal.
”Saat ini aku tahu kamu yang terbaik untukku. Dan kuharap aku pun yang terbaik untukmu. Hari ini aku akan melamar kamu. Will you marry me?” tegasnya.
Sebuah petir, lebih tepatnya kembang api serasa menyambar. Kabar yang sangat menggembirakan untukku.
”Benarkah? Tapi, orang tua kakak bagaimana? Katanya harus menyelesaikan kuliah dulu?” tanyaku.
”Mereka sudah tahu apa alasan aku mempercepat semua ini. Aku ingin kamu selalu disampingku untuk mendampingiku dan memberi semangat hidup untukku. Kamu mau kan menikah denganku?” tegas kak Faisal lagi.
”Aku mau” jawabku singkat.

Saat aku memberitahukan hal ini pada keluargaku mereka hanya bisa bersyukur dan gembira juga. Mereka pun menyetujui tujuan mulia ini. Persiapan demi persiapan mulai kuurusi. Dibantu keluarga dan teman-temanku. Kak Faisal pun mempersiapkan segalanya demi kelancaran di hari h. Ini seperti mimpi. Aku mulai membagikan undangan pada teman-temanku dan tetangga-tetangga. Mereka ikut berbahagia atas akan dilaksanakannya pernikahanku.

Seminggu sebelum hari pernikahanku, aku bermimpi tinggal di istana yang penuh dengan bunga. Aku melihat kak Faisal berdiri di depanku dan memelukku. Dia menciumiku, seraya berkata,

”Kau adalah anugerah terindah yang dikirim tuhan untukku. Untuk mendampingiku seumur hidupku. Bidadari paling cantik yang akan menghiasi hari-hariku. Impian terakhirku adalah mati di pangkuanmu.”


Ketika di mimpiku kami asyik b....., tiba-tiba telepon genggamku berdering.

”Re, kamu harus segera ke rumah sakit!” adiknya kak Faisal, Fara meneleponku.
”Ada apa Fara?” aku bertanya padanya.
”Pokoknya kamu harus ke sini! Darurat Re!” teriak Fara.

Sepertinya dia menangis, tapi kenapa? Aku bertanya-tanya di dalam hati. Secepatnya aku harus tiba di sana, pikirku. Aku harus tahu apa yang telah terjadi.

Sesampainya di rumah sakit, aku merasa keluarga Faisal melihatku iba. Aku susuri satu persatu, mama, papa, kak Fera, dan Fara ada disana. Tapi aku tak melihat calon suamiku ikut berdiri. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Aku merasakan firasat yang tidak baik. Belum sempat aku bertanya apa yang sedang terjadi, dokter keluar dari sebuah ruangan dan memanggil namaku.

”Maaf, ada yang bernama Rere disini. Pasien ingin bertemu.” kata dokter itu.
”Saya, dokter.” aku pun berlari kecil menuju ruangan yang serba putih itu, aku pun melihat wajah yang bercahaya namun serasa menahan sakit sedang terbaring lemah. Spontan aku berteriak dan menangis.
”Kak Faisal? Apa yang terjadi?” aku tak sanggup menahan air mata ini.
”Dia mengalami kecelakaan saat mau pergi ke rumahmu nak Rere.” papanya kak Faisal yang menjawab semuanya.
”Tante sudah melarangnya, karena tidak baik menemui calon istri kira-kira seminggu sebelum pernikahan. Tapi, dia nekat.” terdengar mamanya menangis tersedu-sedu.
”Kenapa kak Faisal begini?” aku merasa kehilangan semangat.
”Rere..” kak Faisal memanggil namaku.

Aku pun menggenggam tangannya, aku ingin memberi dia semangat dan keyakinan kalau dia akan sembuh.

Tiba-tiba tangannya menggenggamku kuat. Dia terlihat menahan sakit yang begitu dalam. Aku mencoba menenangkannya. Kulihat mulutnya mengucapkan kata ”Rere, aku sayang sama kamu” dan kemudian mengucapkan syahadat. Aku spontan memeluknya dan keluarganya terdengar menangis semakin keras.

Dan..

Dia benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya di pelukanku. Persis dengan apa yang dia inginkan dalam mimpiku tadi malam. Aku menangis dan ruangan terlihat gelap.


Saat aku terbangun, rasanya aku telah lama tertidur. Aku berada di ruangan yang serba putih. Aku meliaht disampingku ada kakakku yang sedang tertidur. Aku mencoba membangunkannya. Sesaat dia terbangun, dan seketika memelukku.
”Aku kenapa?” tanyaku.
”Kamu kecelakaan Re.” jawab kakakku.
”Kecelakaan? Bukankah yang kecelakaan itu kak Faisal?” tanyaku kembali.
”Faisal siapa? Kamu kecelakaan setelah hari itu pamit untuk pergi dengan temanmu. Lalu kami mendapat kabar kalau kamu menjadi korban kecelakaan dan kamu koma selama 5 bulan ini.” jelas kakakku.

”5 bulan? Jadi semuanya hanya mimpi?” aku baru menyadari kalau kisah indahku hanyalah mimpi. Kak Faisal, mimpi-mimpiku dengannya. Semua hanya mimpi. Aku spontan menangis. Impianku ternyata benar-benar mimpi. Rasanya terlalu sakit untukku kehilangan kak Faisal. Ternyata, aku belum sempat bertemu dengannya di cafe sore itu. Sepertinya kak Faisal pun tidak tahu kalau aku mengalami kecelakaan. Aku pun tidak bisa menghubunginya karena telepon genggamku hilang saat kejadian itu. Aku merasa sepi kembali. Biarlah mimpi itu terkubur bersama ketidakberdayaanku. Aku semakin terpuruk dengan keadaanku yang ternyata sudah lumpuh. Aku hanya bisa berharap bisa sembuh dan bertemu orang yang akan menerimaku apa adanya.

Masalah lain muncul ketika aku tahu kalau untuk biaya pengobatanku memakai uang tabungan kakakku. Aku merasa berhutang padanya. Tapi, bagaimana aku bisa membayarnya? Aku sekarang lumpuh total, tak bisa mengerjakan apa-apa lagi apalagi bekerja. Kulihat kakakku sering uring-uringan meski dia tak menampakkan padaku bahwa aku harus mengganti semua tabungannya. Ternyata dalam 5 bulan saat aku koma, ayah pergi bersama istrinya ke luar kota. Mereka memulai hidup baru di sana. Mungkin hanya beliau yang tahu apa alasannya. Aku hanya bisa mendo’akan beliau semoga tetap dalam lindunganNya meskipun hatiku sakit karena beliau tak menemaniku sewaktu aku sakit.

Di ujung penantianku ini aku hanya bisa memohon pada Alloh untuk membukakan jalan yang terbaik untukku. Semua yang telah aku alami kuanggap sebuah ujian dalam hidupku. Aku harus bisa tetap bersabar menghadapi semua ini. Aku yakin semua akan ada jalan keluar dan terindah untukku. Semua mimpi yang tertunda ini suatu saat nanti akan menjadi kenyataan. Amin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar